___"25 Juli 2012, Milad ASMA Gatsu ke 12"

___"25 Juli 2012, Milad ASMA Gatsu ke 12"
Mendidik Anak : Tak Cukup hanya Mengenal Angka ... .

MILENIUM baru telah tiba. Tantangan lebih berat memaksa semua orang untuk mempersiapkan diri sedini mungkin, agar tidak tertinggal dalam persaingan yang lebih ketat. Sebagai orang normal, tentu tidak ada keinginan untuk tertinggal dengan orang lain. Untuk itulah segala cara dan upaya ditempuh untuk mengantisispasi persaingan ini.
Tantangan akan lebih berat bagi mereka yang saat ini masih anak-anak. Di usia dewasa, mereka harus berhadapan dengan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta persaingan amat berat. Selain dengan bangsa sendiri, mereka juga harus bersaing dengan orang atau perusahaan luar negeri, yang pada 2003 akan keluar masuk secara bebas. Persaingan ini tidak main-main. Jika tidak diantisipasi dengan cermat, semua bisa sia-sia dan terlambat. Untuk itu diperlukan cara mengantisipasinya. Antara lain dengan membangun kecerdasan anak. Hanya anak yang cerdas, kreatif dan stabil yang bisa survive dalam kerasnya persaingan ini. Pendidikan menjadi faktor terpenting dalam menciptakan anak yang cerdas, kreatif dan stabil. Pendidikan di sini mencakup pendidikan formal di sekolah maupun informal di rumah.
Namun seringkali, pendidikan - yang notabene cara membangun kecerdasan - justru menjadi tidak efektif karena hanya mementingkan salah satu sisi. Seperti mendidik anak secara kognitif saja. Sementara emosinya tidak pernah disentuh. Ini menjadikan anak merasa tertekan dan tidak bahagia. Psikolog anak, Dr Seto Mulyadi MPsi mengingatkan, anak tidak boleh hanya dididik agar cerdas, tapi juga kreatif dan mempunyai emosi stabil. "Yang menjadi orientasi pendidikan saat ini, baik di sekolah maupun di rumah, adalah bagaimana menciptakan anak yang cerdas secara logika, matematika, dan bahasa. Sementara kecerdasan lain seperti kecerdasan musikal, visual spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal dan naturalis masih kurang mendapat porsi yang tepat," kata psikolog yang akrab disapa dengan 'Kak Seto' itu.
Kembangkan Otak Kanan. Penelitian yang dilakukan oleh David Goleman mengungkapkan, IQ bukan segala-galanya. Dalam 50-100 tahun terakhir, orang yang sukses adalah orang yang I-Qnya tidak begitu tinggi. Bahkan, banyak orang yang IQ-nya tinggi, setelah dewasa bekerja pada orang yang IQ-nya biasa-biasa saja. Mengapa? Sebab, IQ hanya sebagian kecil dari potensi manusia. Faktor lain seperti kecerdasan emosi, kecerdasan moral, dan kecerdasan menghadapi kenyataan, juga berpengaruh besar.
Yang tidak kalah berpengaruhnya adalah, kenyataan bahwa selama ini pemanfaatan potensi otak hanya terfokus pada otak kiri. Otak kiri - yang memuat potensi cerdas secara logika - lebih sering dikembangkan daripada otak kanan - yang mempunyai kecenderungan untuk berpikir kreatif. Kreativitas anak acapkali sulit berkembang, padahal kreativitas diperlukan untuk menjawab tantangan di masa depan.
Budaya Indonesia dinilai sebagai salah satu kendala tumbuhnya kreativitas anak. Selama ini, anak dianggap baik dan pandai kalau penurut, patuh, manis, dan mau berbuat sesuatu yang dikatakan oleh guru, orangtua atau siapapun yang lebih tua. Anak akan dianggap perusak, kalau dia suka memberontak dan melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan orangtua. Citra semacam itulah yang berkembang di Indonesia. Hal ini yang menjadi alasan, kreativitas anak Indonesia kurang bertumbuhkembang.
Kak Seto menjelaskan, pendidikan Indonesia hanya mengembangkan kecerdasan intelektual. Itupun hanya memanfaatkan 1 persen bagian otak, sementara 99 persen lainnya belum termanfaatkan optimal. "Einstein memanfaatkan 20 persen otaknya. Kalau kita memanfaatkan otak kita 20 persen saja, kita akan sehebat Einstein."
Dijelaskan, proses pembentukan kecerdasan selanjutnya adalah ketika anak berusia 4 tahun. Tapi, bukan berarti antara usia 18 bulan sampai 4 tahun anak tidak perlu diajari. Hanya saja, ketika anak berusia 4 tahun, anak sudah bisa memanfaatkan otaknya dengan baik. Agar kedua belah otaknya berfungsi optimal, pada usia ini perlu diberi latihan-latihan yang bisa merangsang fungsi otak.
Cegah Fobia Angka Caranya bisa dengan memperkenalkan sempoa - sebuah alat bantu berupa manik-manik yang digerakkan ke atas dan ke bawah. Sempoa berasal dari Taiwan. Sempoa yang dipakai sekarang berbeda dengan sempoa klasik yang berwarna hitam dan hanya berfungsi sebagai alat hitung. Sempoa yang dipakai saat ini berwarna kuning dan tidak hanya berfungsi sebagai alat hitung, tapi juga media untuk merangsang pengembangan potensi otak kanan.
Menurut Drs Andreas Chang MBA, pimpinan Abacus Mutated Mental Arithmetic (AMMA) Indonesia, metode yang dipakai dengan alat bantu sempoa ini adalah mental aritmatika. Yaitu metode berhitung di luar kepala yang dibantu dengan sempoa.
Ada lima kelebihan metoda ini.
Pertama, melatih imajinasi, kreativitas, konsentrasi, daya ingat dan daya analisa. Kedua, meningkatkan kecepatan, ketepatan dan ketelitian dalam berpikir, menghitung dan bereaksi. Ketiga, cepat menganalisa situasi dan mengambil keputusan. Keempat, meningkatkan rasa percaya diri dan melatih kemandirian, kedisiplinan, dan ketekunan. Kelima, meningkatkan kekuatan berpikir: objektif, kritis, positif, dan intuitif.
Selain itu, dengan belajar menggunakan sempoa, ketakutan (fobia) anak terhadap angka (numerophobia) bisa dihindari. Sehingga anak mau belajar angka dengan sukarela dan senang hati. Fungsi angka dalam kehidupan besar sekali. Semua orang hidup dengan angka. Jika anak takut pada angka, hidupnya akan mengalami kesulitan. Apalagi dalam dunia modern seperti ini. (Adherina Nindyashari)
 

Copyright © 2009 asma gatsu Designed by csstemplatesmarket

Converted to Blogger by BloggerThemes.Net